Sabtu, 21 Januari 2017
Minggu, 22 Mei 2016
Minggu, 27 Maret 2016
Menumbuhkan Kembali Semangat Berilmu
Menumbuhkan Kembali Semangat Berilmu
Oleh: Dede El Triana
“Hidupnya pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa. Jika tidak ada keduanya dalam diri seorang pemuda, takbirkan saja 4 kali sebagai tanda kematiannya.”
Sangar. Pertama kali kesan yang saya terima ketika membaca untaian kalimat Imam Syafi’i diatas. Bagaimana mungkin seseorang dianggap telah mati karena hidupnya tidak diisi dua hal tersebut: Ilmu dan Taqwa. Tetapi setelah saya renungi, apalah lagi yang harus diisi oleh kehidupan seorang pemuda yang dalam catatan sejarah selalu dielu-elukan keberadaannya dan selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, selain kedua hal tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut, akan lebih afdhal jika saya menghadirkan sesosok pribadi yang karenanya bisa kita jadikan cermin permata untuk diri.
Satu waktu di Madinah, di majelis Imam Malik yang selalu ramai oleh murid-muridnya yang hendak belajar kepadanya, ramai suara seseorang dari luar masjid berteriak tiba-tiba, “Lihat! Ada gajah!” ia berteriak sambil menunjuk ke arah datangnya gajah. Orang-orang di Madinah penasaran karena disana, melihat gajah merupakan sesuatu yang luar biasa, pun termasuk murid-murid Imam Malik. Mereka berlarian menuju pintu masjid hendak melihat seperti apa bentuk asli gajah. Tetapi ada seorang murid, yang tetap terduduk khusuk nan takzim memperhatikan sang Guru yang juga tetap duduk di tempatnya. Anak itu tidak terpengaruh dengan suasana yang terjadi di sekitarnya.
“Anakku, kau tidak ikut serta melihat gajah? Sudah pernah kah kau melihat gajah?” tentu saja sang Guru bertanya heran.
Masih dengan takzimnya anak itu menjawab, “Belum, Syaikh.”
“Lalu?”
“Hanya saja, aku datang dari Andalus kesini adalah untuk menuntut ilmu pada Syaikh, bukan untuk melihat gajah,” jawabnya teguh.
Yahya bin Yahya Al-Laits nama sang murid tersebut. Kelak, kitab Al muwatha karyanya menjadi yang paling dirujuk.
“Tak akan pernah kau dapati ilmu, kecuali dengan enam yang harus kau miliki,” begitulah dalam salah satu syair yang masyhur Imam Syafi’i. Dan kelanjutan syair ini kita tahu, “kecerdasan, semangat, kesungguhan, pengorbanan, membersamai guru dan panjangnya waktu.”
Kisah Yahya bin Laits, bukan hanya tentang suka atau tidak suka melihat gajah, tetapi lebih dari itu. Kisah tersebut merangkum enam hal yang dikatakan oleh Imam Syafi’i. Ia seorang pembelajar yang datang dari jauh untuk melakukan rihlah ilmu--pada saat itu, rihlah ilmu merupakan satu hal yang sudah menjadi tradisi--. Andalus-Madinah, bukan jarak yang dekat. Jiwa, harta, dan waktu menjadi keharusan untuk dikorbankan. Belum lagi meninggalkan keindahan Andalus menuju padang tandus. Tetapi tekadnya untuk mengeja setiap ilmu dari Allah membuat segala pengorbananya tak berarti apa-apa.
Yahya bin Yahya adalah sebuah contoh, bahwa dalam perjalanan menuntut ilmu ada banyak godaan yang akan kita jumpai, Barangkali godaan itu berupa kemalasan, main-main, jalan-jalan tidak bermanfaat, pacaran dan semacamnya dan saat godaan itu datang hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengelola hati kita agar teguh pada niat awal kita menuntut ilmu, bukan menerima godaan tersebut dengan tangan terbuka dan menyambutnya dengan sukacita. Waktu kita terlalu berharga jika hanya untuk meladeni hal-hal semacam itu sedangkan ilmu Allah lebih banyak dari waktu yang tersedia. Bergegaslah meraihnya, bergegaslah belajar. Ada banyak orang-orang yang membutuhkan uluran tangan orang-orang berilmu lagi shalih.
“Tak ada yang lebih agung di bawah derajat kenabian,” demikian Sufyan Ats-Tsauri mengungkapkan, “selain belajar dan mengajarkan”. Jika kita terus menunda waktu belajar kita, akan ada banyak sekali kebaikan yang tertunda sedangkan diluar sana kebatilan terus merengsek melaju merapatkan shaff mereka dengan sangat terorganisir. Bukankah kebatilan yang teroganisir dengan baik akan mampu mengalahkan kebaikan yang carut marut? Dan sesuatu yang terorganisir tak lepas dari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang di dalamnya.
Maka, jika suatu saat nanti godaan itu datang, teguhlah pada niat dan cita-cita awalmu. Ilmu Allah lebih banyak dari waktu yang tersedia, kawan. Bergegaslah!
Oleh: Dede El Triana
“Hidupnya pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa. Jika tidak ada keduanya dalam diri seorang pemuda, takbirkan saja 4 kali sebagai tanda kematiannya.”
Sangar. Pertama kali kesan yang saya terima ketika membaca untaian kalimat Imam Syafi’i diatas. Bagaimana mungkin seseorang dianggap telah mati karena hidupnya tidak diisi dua hal tersebut: Ilmu dan Taqwa. Tetapi setelah saya renungi, apalah lagi yang harus diisi oleh kehidupan seorang pemuda yang dalam catatan sejarah selalu dielu-elukan keberadaannya dan selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, selain kedua hal tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut, akan lebih afdhal jika saya menghadirkan sesosok pribadi yang karenanya bisa kita jadikan cermin permata untuk diri.
Satu waktu di Madinah, di majelis Imam Malik yang selalu ramai oleh murid-muridnya yang hendak belajar kepadanya, ramai suara seseorang dari luar masjid berteriak tiba-tiba, “Lihat! Ada gajah!” ia berteriak sambil menunjuk ke arah datangnya gajah. Orang-orang di Madinah penasaran karena disana, melihat gajah merupakan sesuatu yang luar biasa, pun termasuk murid-murid Imam Malik. Mereka berlarian menuju pintu masjid hendak melihat seperti apa bentuk asli gajah. Tetapi ada seorang murid, yang tetap terduduk khusuk nan takzim memperhatikan sang Guru yang juga tetap duduk di tempatnya. Anak itu tidak terpengaruh dengan suasana yang terjadi di sekitarnya.
“Anakku, kau tidak ikut serta melihat gajah? Sudah pernah kah kau melihat gajah?” tentu saja sang Guru bertanya heran.
Masih dengan takzimnya anak itu menjawab, “Belum, Syaikh.”
“Lalu?”
“Hanya saja, aku datang dari Andalus kesini adalah untuk menuntut ilmu pada Syaikh, bukan untuk melihat gajah,” jawabnya teguh.
Yahya bin Yahya Al-Laits nama sang murid tersebut. Kelak, kitab Al muwatha karyanya menjadi yang paling dirujuk.
“Tak akan pernah kau dapati ilmu, kecuali dengan enam yang harus kau miliki,” begitulah dalam salah satu syair yang masyhur Imam Syafi’i. Dan kelanjutan syair ini kita tahu, “kecerdasan, semangat, kesungguhan, pengorbanan, membersamai guru dan panjangnya waktu.”
Kisah Yahya bin Laits, bukan hanya tentang suka atau tidak suka melihat gajah, tetapi lebih dari itu. Kisah tersebut merangkum enam hal yang dikatakan oleh Imam Syafi’i. Ia seorang pembelajar yang datang dari jauh untuk melakukan rihlah ilmu--pada saat itu, rihlah ilmu merupakan satu hal yang sudah menjadi tradisi--. Andalus-Madinah, bukan jarak yang dekat. Jiwa, harta, dan waktu menjadi keharusan untuk dikorbankan. Belum lagi meninggalkan keindahan Andalus menuju padang tandus. Tetapi tekadnya untuk mengeja setiap ilmu dari Allah membuat segala pengorbananya tak berarti apa-apa.
Yahya bin Yahya adalah sebuah contoh, bahwa dalam perjalanan menuntut ilmu ada banyak godaan yang akan kita jumpai, Barangkali godaan itu berupa kemalasan, main-main, jalan-jalan tidak bermanfaat, pacaran dan semacamnya dan saat godaan itu datang hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengelola hati kita agar teguh pada niat awal kita menuntut ilmu, bukan menerima godaan tersebut dengan tangan terbuka dan menyambutnya dengan sukacita. Waktu kita terlalu berharga jika hanya untuk meladeni hal-hal semacam itu sedangkan ilmu Allah lebih banyak dari waktu yang tersedia. Bergegaslah meraihnya, bergegaslah belajar. Ada banyak orang-orang yang membutuhkan uluran tangan orang-orang berilmu lagi shalih.
“Tak ada yang lebih agung di bawah derajat kenabian,” demikian Sufyan Ats-Tsauri mengungkapkan, “selain belajar dan mengajarkan”. Jika kita terus menunda waktu belajar kita, akan ada banyak sekali kebaikan yang tertunda sedangkan diluar sana kebatilan terus merengsek melaju merapatkan shaff mereka dengan sangat terorganisir. Bukankah kebatilan yang teroganisir dengan baik akan mampu mengalahkan kebaikan yang carut marut? Dan sesuatu yang terorganisir tak lepas dari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang di dalamnya.
Maka, jika suatu saat nanti godaan itu datang, teguhlah pada niat dan cita-cita awalmu. Ilmu Allah lebih banyak dari waktu yang tersedia, kawan. Bergegaslah!
Senin, 21 Maret 2016
Bertaqorub dalam Gerhana
Assalamualaikum wr.wb
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan". (Ar-Rahman : 5)
Salah satu kebesaran Allah adalah gerhana matahari dan bulan. Banyak hadits yang menganjurkan untuk melakukan dzikir dan shalat ketika melihat fenomena ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat."
( HR. Bukhari no. 1047)
Sebenarnya apa maksud dan tujuan Allah menciptakan gerhana? Dan bagaimana tata cara sholat gerhana yang dianjurkan Rasulullah ??
LDK SYAHID dengan bangga mempersembahkan :
" KAJIAN ISLAM DAN GERHANA MATAHARI "
Selasa-Rabu, 8-9 maret 2016
19.30 s/d selesai
Masjid Al-Mughiroh, Ciputat, Tangerang Selatan.
Pembicara Kajian dengan tema
"Bertaqorub dalam Gerhana"
Drs. Sirril Wafa, MA
(Dosen Ilmu Falaq FSH UIN Jakarta)
Tata cara dan Imam sholat gerhana :
Prof. Dr. KH Amin Suma, SH, M.A., MM
(Guru Besar FSH UIN Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI)
Daftar :
Nama_Univ/Instansi_No.HP
Kirim ke:
08562391645 (Arin)
087771205464 (Ali)
# TERBUKA UNTUK UMUM
Mari bersama-sama menjadi saksi kebesaran Allah
Wassalamualaikum wr.wb
Langganan:
Postingan (Atom)